Rabu, 10 Februari 2016

RESUME BUKU JENIS-JENIS IKAN YANG DILINDUNGI DAN MASUK DALAM APPENDIKS CITES

RESUME BUKU JENIS-JENIS IKAN YANG DILINDUNGI DAN MASUK DALAM APPENDIKS CITES Tugas Paper Mata Kuliah Ekplorasi dan Konservasi Laut Dosen: Prof. Effendi A. Sumardja Eko Prasetyo Budi NPM : 1506693512 PROGRAM STUDI SAINS HAYATI KELAUTAN MAGISTER ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2015 RESUME BUKU JENIS-JENIS IKAN YANG DILINDUNGI DAN MASUK DALAM APPENDIKS CITES Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (Undang Undang No 45 Tahun 2009 atas perubahan Undang Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan). Ikan dalam hal ini termasuk: pisces, crustacean, Mollusca, coelenterate, amphibian, reptilian, dan Echinodermata. Tumbuhan dan satwa (termasuk ikan) berstatus dilindungi, bisa berdasarkan Peraturan Pemerintah N0 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, atau berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Perikanan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/PERMEN-KP tahun 2013 Tentang Tata Cara Penetapan Status Ikan Dilindungi) yang merupakan turunan dari Undang Undang no 31 tahun 2004 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang Undang no 45 tahun 2009 tentang Perikanan) Jenis ikan yang dilindungi adalah jenis ikan yang dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan/atau dilindungi berdasarkan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi, termasuk telur, bagian tubuh, dan/atau produk turunannya (derivat). (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/PERMEN-KP/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Ikan). Daftar jenis ikan yang dilindungi yang artinya ada penetapan status perlindungannya menurut peraturan perundangan nasional dengan ada atau tidak ada aturan internasionalnya, tertulis pada table berikut di bawah ini. Jenis ikan yang tidak dilindungi adalah jenis ikan yang tidak dilindungi berdasarkan peraturan perundang undangan nasional tetapi dilindungi berdasarkan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi (seperti Apendiks 1, 2, dan 3 CITES). contoh jenis ikan yang tidak dilindungi adalah: coral atau karang keras (Scleractinia spp), karang hias diantaranya adalah Acropora sp, kuda laut (Hyppocampus spp), labi labi (Amyda cartilaginea), kura kura berleher ular (Chelodina mccordi), kura kura hutan Sulawesi (Leucocephalon yunowoi), sorak (Pelochelys cantorii). Jenis jenis ikan yang disebutkan tadi adalah memiliki peraturan internasionalnya yaitu masuk daftar apendik 2 CITES tetapi tidak ada peraturan nasionalnya. Sebaiknya jenis jenis ikan tersebut terutama untuk jenis terumbu karang / coral, baik karang hias maupun karang keras untuk segera memiliki aturan atau status perlindungannya melalui diterbitkannya peraturan nasionalnya. Peraturan yang dimaksud tidak berarti akan menutup penuh perdagangannya. Pertimbangannya antara lain adalah sudah ada aturan internasionalnya dan juga karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan melalui berbagai program / project untuk penyelamatan terumbu karang di Indonesia. Ikan dalam UU No. 31 Tahun 2004 adalah segala jenis organism yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Bahasan dalam buku ini terbatas pada jenis ikan bersirip (Pisces). Buku ini menyajikan informasi tentang jenis-jenis ikan yang dilindungi dan masuk dalam Appendiks CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora). CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam adalah perjanjian internasional antar negara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Indonesia telah meratifikasi ketentuan CITES tersebut melalui Perpres No 43 tahun 1978. Dimana, pengertian Indonesia telah meratifikasi ketentuan CITES tersebut, berarti Indonesia akan menerapkan segala ketentuan yang berlaku di CITES untuk hukum nasional terkait dengan perdagangan internasional (ekspor atau impor) tumbuhan dan satwa liar spesies terancam. Ketentuan CITES tidak otomatis berlaku bagi perdagangan domestic / nasional. Berlaku tidaknya ketentuan CITES untuk perdagangan domestic / nasional tergantung dari ketentuan peraturan perundangan nasional yang berlaku. Tujuan CITES adalah membangun sistem pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar serta produk-produknya secara internasional. Pengendalian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi komersial secara tak terbatas terhadap sumber daya tumbuhan dan satwa liar merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup suatu jenis. Berdasarkan kelangkaannya, CITES menggolongkan tumbuhan dan satwa liar ke dalam 3 golongan (appendiks) yaitu Appendiks I, Appendiks II dan Appendiks III. Appendiks I terdiri dari jenis yang mengalami ancaman kepunahan, perdagangan specimen dari jenis-jenis ini diijinkan untuk keadaan tertentu. Appendiks II terdiri dari jenis yang belum mengalami ancaman kepunahan, namun perdagangannya harus dikontrol dengan tujuan untuk menghindari pemanfaatan yang tidak selaras dengan kelangsungan hidup mereka. Sedangkan Appendiks III terdiri dari jenis yang dilindungi oleh sekurangnya oleh satu negara, yang telah meminta kepada CITES Party untuk membantu mengontrol perdagangan. Khusus jenis ikan di dunia, 15 spesies masuk dalam Appendiks I, 71 spesies masuk dalam Appendiks II dan 1 spesies ikan masuk Appendiks III. Di Indonesia sendiri, peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan perlindungan terhadap sumber daya ikan adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam buku ini juga ada deskripsi jenis-jenis ikan yang dilindungi dan masuk dalam Appendiks CITES seperti ikan Raja Laut, ikan Naga dan ikan Hiu Gergaji. Deskripsi jenis-jenis ikan yang dilindungi tetapi tidak masuk dalam Appendiks CITES seperti ikan Selusur Maninjau, ikan Belida, ikan Wader Goa dan ikan Arwana Irian. Serta ada juga deskripsi jenis-jenis ikan yang tidak dilindungi tetapi masuk dalam Appendiks CITES seperti ikan Napoleon, ikan Hiu Paus dan berbagai jenis kuda laut.

PENGELOLAAN BMKT DI PERAIRAN LAUT KABUPATEN CIREBON

PENGELOLAAN BMKT DI PERAIRAN LAUT KABUPATEN CIREBON Tugas Paper Mata Kuliah Pengelolaan Sumber Daya Laut Dosen: Dr. Ir. Sugeng Budi Harsono Eko Prasetyo Budi NPM : 1506693512 PROGRAM STUDI SAINS HAYATI KELAUTAN MAGISTER ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2015 BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Letak geografis Indonesia yang strategis yakni di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia, dan di antara dua samudera, India dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai jalur lalu lintas pelayaran internasional yang ramai, menghubungkan negara-negara di wilayah Eropa, Timur tengah, Asia Selatan dan Asia Timur. Kekayaan sumberdaya alam dan produksi rempah-rempah juga menjadikan nusantara sebagai tempat persinggahan dan tujuan perdagangan. Dalam perjalanannya perairan Indonesia, terutama di jalur pelayaran, pun menjadi saksi kecelakaan-kecelakaan pelayaran yang disebabkan oleh banyak hal, seperti keterbatasan teknologi perkapalan dan sistem navigasi, keterbatasan informasi tentang kondisi cuaca dan bahkan konflik. Sebaran kapal karam yang umumnya membawa komoditi dan barang dari Cina, Asia Barat dan Eropa seperti Belanda (VOC), Inggris, Spanyol banyak ditemukan di wilayah perairan Kepulauan Riau, Selat Karimata, Perairan Bangka-Belitung, Laut Jawa, Sulawesi Selatan dan Maluku, yang jumlahnya diperkirakan ribuan. Tabel 1 menunjukkan data tentang kapal karam di Perairan Indonesia yang dihimpun oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) tahun 2000. Tabel 1. Data Kapal Tenggelam di Perairan Indonesia
Sumber : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP (2000) Di antara kapal-kapal karam tersebut diperkirakan membawa benda-benda artefak berupa keramik, logam mulia (emas, perak, perunggu), batuan berharga dan benda lainnya baik sebagai barang dagangan maupun berupa benda khusus untuk hadiah. Benda-benda berharga ini diperkirakan memiliki nilai yang tinggi tidak saja secara ekonomi tapi juga sejarah dan ilmu pengetahuan. Sebagai benda tinggalan budaya manusia masa lalu, nilai BMKT dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) historis, ilmu pengetahuan dan budaya yang ditunjukkan dari masa pembuatan atau abad kejayaan suatu karya cipta seni budaya yang tercermin pada BMKT (Dinasti Song, Tang, Ching dan Dinasti Ming); (2) ciri khas (keunikan), sifat kegunaan dan pembuatan yang memperlihatkan kualitas BMKT (produk masal atau produk khusus pesanan bangsawan/ kerajaan); (3) legalitas, sertifikasi asal usul dan keaslian BMKT; (4) kepercayaan masyarakat internasional terhadap jaminan benda yang dilelang termasuk peran Pemerintah, balai lelang internasional; serta (5) kondisi perdagangan, pengaruh hukum supply dan demand BMKT di dunia. Isunya kemudian adalah nilai tersebut mendorong maAda beberapa alasan ataupun semangat didirikannya Pannas BMKT, diantaranya (bandingkan dengan Laporan Tahunan 2008 Pannas BMKT, Hal. 1): 1. Perairan laut Indonesia dahulunya merupakan wilayah jalur perdagangan internasional sejak jaman sebelum masehi. Dari bukti sejarah, banyak kapal dagang dan kapal perang yang jatuh di perairan Indonesia dengan membawa benda-benda berharga yang perlu dimanfaatkan secara baik, baik untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, budaya maupun ekonomi 2. Pannas BMKT lahir sebagai respon atas tindakan penjarahan dan pencurian BMKT yang massif di masa lalu, terutama atas pencurian yang dilakukan Michael Hatcher atas BMKT dari kapal Geldermalsen yang kemudian melelangnya di balai lelang Christi’e, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan Indonesia tidak kebagian sedikitpun. 3. Mengupayakan pengelolaan BMKT agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada Negara dengan tetap memegang pada prinsip kelestarian warisan budaya di bawah permukaan air. 4. Didirikan pada masa pemerintahan orde baru yang lebih mengedepankan semangat two partij yaitu penguasa dan pengusaha, dan mengabaikan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan BMKT. Dalam upaya mendukung kegiatan pengelolaan BMKT, berbagai perangkat peraturan teknis juga ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Dalam hal ini, tugas Panitia Nasional ialah mengkoordinasikan kegiatan antar departemen; menyiapkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan rekomendasi perizinan survei dan pengangkatan dan pemanfaatan BMKT ke pejabat berwenang; dan menyelenggarakan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian atas proses pengangkatan, pengangkutan dan pemanfaatan BMKT tersebut. Beberapa waktu belakangan ini kita disuguhi berita tentang perburuan harta karun di daerah Sungai Musi di Palembang. Perburuan dilakukan oleh masyarakat penyelam tradisional setempat dengan menggunakan kompresor dan melakukan penyelaman hingga kedalaman 15 meter. Alasannya sederhana yaitu motif ekonomi. Kisah ini berawal ketika tersiar kabar bahwa salah seorang penyelam pernah mendapatkan sebuah arca yang terbuat dari emas dan dijual seharga 3 (tiga) Milyar rupiah. Angka yang sangat besar tentunya bagi masyarakat di sekitar pinggiran Sungai Musi yang umumnya pas-pasan. Warga semakin semangat melakukan pencarian ketika mereka mendengar informasi dari salah seorang staf Balar Palembang bahwa dahulunya terdapat kapal VOC yang karam pada abad 18 yang lalu. Penemuan terhadap BCB di perairan Sungai Musi bukanlah pertama kali terjadi. Banyak masyarakat yang saat ini masih menyimpannya di rumah atas benda hasil temuannya. Bagaimana dengan Pannas BMKT? Sampai saat ini belum ada andil dalam menyikapi kasus tersebut, kecuali oleh Balai Arkeologi Palembang. Motif ekonomi ini pulalah yang mendasari Michael Hatcher melakukan perburuan harta karun secara illegal (pencurian) pada tahun 1985 di perairan Indonesia, tepatnya di Karang Heloputan, Kepulauan Riau dengan menangguk keuntungan yang sangat besar. Sekalipun demikian, Michael Hatcher tetap bebas berkeliaran di tanah air Indonesia untuk melakukan pencarian harta karun baik secar legal maupun illegal. Bahkan pada awal Januari 2001, Michael Hatcher diketahui kembali beroperasi di perairan Tidore-Ternate, digandeng oleh PT Tuban Oceanic Research and Recovery. Kegiatan ini di luar kontrol Panitia Nasional, karena ketika pihak TORR mengajukan permohonan security clearance, nama Hatcher tidak ada. Belakangan baru diketahui ketika terjadi pengangkatan BMKT. Kejadian ini terulang pada bulan Oktober 2004, dimana PT Marindo Alam Internusa (MAI), sebuah perusahaan pengangkatan baru, mengajukan permohonan izin survei ke Panitia Nasional. Dalam permohonan ijin survei tertulis nama Michael Hatcher sebagai pemimpin survei dilampiri berbagai macam dokumen kerja. Di belakang MAI sendiri, ada setumpuk nama pensiunan laksamana, bahkan seorang mantan kepala staf AL. Nama Michael Hatcher disodorkan oleh Dewan Komisaris perusahaan tersebut ke Pannas BMKT, setelah mendapat lampu hijau dari Menteri Kelautan Rokhim Dahuri (saat itu). Namun, ketika tim Pannas BMKT melakukan pengecekan ulang, ditemukan dokumen kerja Hatcher adalah dokumen bodong. Izin yang diakui atas nama Hatcher, setelah diperiksa di Departemen Tenaga Kerja, ternyata milik orang lain. Alamat MAI juga fiktif. Dalam dokumen Hatcher, perusahaan itu mencantumkan alamat Jalan Tulodong Atas Senayan. Padahal, alamat asli Marindo adalah Kelapa Gading. Rokhmin juga mengelak telah memberi lampu hijau". Supaya tidak menanggung malu, yang menjadi sasaran pemecatan adalah Syafri Burhanudin, Direktur Riset dan Eksplorasi Sumber Daya Nonhayati Laut, Departemen Perikanan dan Kelautan, yang juga sebagai Ketua Tim Teknis Panitia Nasional Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam (Pannas BMKT), yang mengurus izin pengangkatan harta karun di laut. Tindakan Syafri dianggap diluar prosedur dan kewenangannya alias melawan atasan (Majalah Tempo 43/XXXIII 20 Desember 2004). Pemerintah dan masyarakat Indonesia mulai menyadari potensi tinggalan arkeologi bawah air setelah terjadi kasus pada tahun 1986 berupa pengangkatan dan pelelangan ilegal muatan kapal kargo VOC Geldermalsen yang karam pada tahun 1751 di perairan Pulau Buaya Riau. Awalnya, benda-benda pada kapal karam menjadi perhatian karena mengandung potensi secara ekonomi. Hal ini dikarenakan benda-benda yang diangkat dari kapal tersebut antara lain berupa lebih dari 150.000 buah keramik Cina dan 126 batang emas seberat 50 kg. Berdasarkan catatan Balai Lelang Christie’s Amsterdam, benda-benda hasil pengangkatan kapal kargo VOC Geldermalsen telah terjual melalui pelelangan ini sejumlah 18 juta dollar Amerika (Green, 2004). Walaupun lokasi penemuan kapal karam Geldermalsen berada di wilayah perairan Indonesia, namun seluruh temuan barang dimiliki oleh Michael Hatcher. Berdasarkan berbagai kajian tentang aspek nilai penting benda sejarah dan aspek lainnya, disusun suatu regulasi yang saling menguntungkan antara pemilik wilayah tempat penemuan barang dan kapal karam, pemilik barang, dan pengambil barang. Akan tetapi, pemerintah Indonesia sama sekali tidak mendapatkan hasil dari penjualan tersebut. Oleh sebab itu, kemudian muncul regulasi-regulasi yang cenderung lebih berorientasi pada aspek (ekonomis) nilai jualnya saja. Kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologis bawah air di Indonesia sejauh ini masih terfokus pada pemanfaatan ekonomis atas barang yang diambil/ditemukan, sedangkan kepentingan yang lain seperti nilai penting ilmu pengetahuan, kesejarahan, dan kemanfaatan untuk masyarakat luas seperti yang diamanatkan pada UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 masih kurang diperhatikan. Penggunaan kata “Benda Berharga” pada istilah Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang dibuat oleh pemerintah juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk keengganan pemerintah untuk mengakui bahwa tinggalan arkeologi bawah air adalah sebagai benda cagar budaya yang wajib dilestarikan. Koos Siti Rochmani (2003) dalam tulisannya di Buletin Cagar Budaya menyebutkan bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air sangat menonjol sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun daripada benda cagar budaya. Padahal jika merujuk pemahaman yang disepakati oleh para ahli, sudah jelas bahwa tinggalan arkeologi bawah air adalah benda cagar budaya (UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan arkeologi bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar budaya. Oleh karena itu, UNESCO melarang bentuk-bentuk kegiatan eksploitasi komersial terhadap benda cagar budaya bawah air (Pasal 2 ayat 7, Konvensi UNESCO Tahun 2001). Selanjutnya, acuan evaluasi yang digunakan diambil dari prinsip-prinsip dalam manajemen sumber daya arkeologi, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan dokumen-dokumen regulasi pengelolaan peninggalan bawah air yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 2. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Antara Pemerintah dan Perusahaan; 3. Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 12 Tahun 2009; 4. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; dan 6. Permen Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.48/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air. Selama ini titik perhatian utama kegiatan pengangkatan dan pengelolaan BMKT adalah keramik. Hal ini dikarenakan benda hasil pengangkatan asal kapal muatan yang tenggelam, yang berupa keramik, merupakan temuan yang paling banyak dan dominan. Keramik sebagai benda cagar budaya memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, keramik hasil pengangkatan BMKT tersebut juga mengandung nilai informasi dan nilai akademis yang tinggi karena memiliki: 1. nilai kuantitas: semakin banyak jumlahnya maka nilai informasi akan semakin baik namun, semakin banyak jumlah temuan keramik dalam jenis dan masa yang sama, maka nilai ekonomisnya (nilai jual barang tersebut) akan semakin kecil; 2. nilai in situ: lokasi penemuan dipastikan asli dan masih pada tempatnya; 3. nilai otentisitas: pengamatan dari segi bahan, bentuk, dan isi temuan dipastikan asli bukan imitasi atau modifikasi; dan 4. nilai integritas: temuan-temuan lain yang berupa non-keramik dapat saling menunjang atau merupakan suatu perpaduan yang utuh sehingga makna kultural yang dimiliki dapat disajikan secara utuh (Tanudirjo, 2004a). Namun, ketiadaan suatu standar prosedur pelaksanaan penanganan terhadap temuan keramik hasil pengangkatan BMKT di Indonesia ini, dapat menyebabkan penurunan kualitas nilai penting atas potensi keramik tersebut bila difungsikan sebagai benda cagar budaya. Penurunan kualitas temuan keramik dari BMKT akan menyebabkan hilangnya nilai informasi dan nilai akademis bahkan akan berdampak pada menurunnya kemanfaatan nilai ekonomis. Mengacu pada ketentuan teknis pengangkatan dari PANNAS BMKT, pasca kegiatan pengangkatan BMKT diikuti dengan kegiatan pemilahan kualitas dan kuantitas BMKT untuk kepentingan pelelangan. Akan tetapi kondisi faktual di lapangan, BMKT hasil pengangkatan tersebut hanya tersimpan di dalam gudang penyimpanan tanpa penanganan lebih lanjut, misalnya kegiatan konservasi keramik, pemilahan, pendokumentasian, dan pengepakan. Penanganan tersebut justru perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian BMKT yang berpotensi sebagai objek yang diduga cagar budaya. Sementara itu, pada saat proses kegiatan pengangkatan BMKT berlangsung, terjadi beberapa kali insiden yaitu penghentian kegiatan oleh masyarakat nelayan di sekitar lokasi pengangkatan. Kelompok nelayan setempat yang diwakili oleh suatu LSM mengajukan tuntutan klaim ganti rugi karena menganggap kegiatan pengangkatan BMKT tersebut mengganggu aktivitas mereka. Selanjutnya, tuntutan menjadi berkembang berupa adanya keinginan masyarakat nelayan untuk diikut sertakan pada kegiatan pengangkatan, tuntutan bagi hasil dari keuntungan pelelangan BMKT, dan mengklaim agar pihak nelayan dapat memiliki sejumlah benda-benda yang diangkat dari dalam laut. Hal itu terjadi karena tidak adanya suatu sosialiasi mengenai kegiatan pengangkatan BMKT di sekitar lokasi. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menunjukkan adanya permasalahan pengelolaan pada sumber daya arkeologi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai model pengelolaan dan aturan penanganan BMKT pasca pengangkatan oleh pemerintah (dalam hal ini menunjuk pada PANNAS BMKT); selain itu, terdapat pula konflik kepentingan antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi bagaimana sebaiknya prosedur yang tepat mengenai pengelolaan sumber daya arkeologi yang berasal dari kegiatan pengangkatan BMKT. Sesuai dengan sifat penelitian evaluasi, maka penelitian ini juga diupayakan untuk dapat mengetahui keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dijalankan di masa lampau. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini ada dua yaitu, pertama untuk mengevaluasi proses pengelolaan BMKT, kedua untuk mengevaluasi kebijakan yang diberlakukan terkait dengan kegiatan pengangkatan BMKT di Cirebon. Hasil evaluasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dilakukan, dalam rangka memperbaiki dan menyusun tata cara pengelolaan yang lebih baik. Aspek-aspek yang ingin diketahui antara lain adalah unsur-unsur pengelolaan, pihak-pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan, dan mekanisme pengelolaan yang pernah diberlakukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan solusi yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Langkah berikutnya adalah menyusun rencana kerja bagi manajemen pelestarian sumber daya arkeologi BMKT di Cirebon dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatannya. Rencana kerja tersebut merupakan wujud pemecahan masalah yang tersusun dalam mekanisme kerja yang terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT di Cirebon. Hasil akhir dari penelitian evaluatif ini adalah menghasilkan masukan dalam rangka meninjau kembali kebijakan yang berlaku. Selanjutnya, masukan ini nantinya dapat memberikan rekomendasi pengelolaan yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian. C. MANFAAT Hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, Pertama, manfaat teoritis yang terkait dengan pemberian wawasan dan pengetahuan yang komprehensif tentang pelestarian dan pemanfaatan dalam pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air. Kedua, manfaat praktis yaitu menjadi suatu masukan kepada para stakeholder dalam merumuskan kebijakan pada upaya pelestarian dan pemanfaatan tinggalan arkeologi bawah air, khususnya BMKT di perairan laut Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi arkeologi, terutama dalam kajian manajemen sumber daya arkeologis. BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Cirebon memiliki letak geostrategis dijalur Pantai Utara Jawa Barat dengan panjang garis pantai ± 54 kilometer (km). Secara geografis, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108019’30”- 108050’03”Bujur Timur (BT) dan 6030’58”- 7000’24” Lintang Selatan (LS). Jarak terjauh dari Utara ke Selatan sepanjang 39 km dan jarak terjauh dari Barat ke Timur sepanjang 54 km. Secara administratif, Kabupaten Cirebon memiliki wilayah seluas 990,36 Km2 yang terbagi menjadi 40 kecamatan, 412 desa, 12 kelurahan, 9.377 Rukun Tetangga (RT) dan 2.700 Rukun Warga (RW). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Pemerintah Kabupaten Cirebon berkewenangan untuk mengelola perairan pesisir dalam zona 0-4 mil dari garis pantai. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Cirebon seluas 399.6 km2 (54km x 4mil x 1.85km). Pelelangan atas benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) yang diangkat dari perairan Cirebon mulai bulan Februari 2004 sampai Oktober 2005 senilai 720 milliar rupiah mengundang beberapa kontroversi di berbagai kalangan. Pengangkatan dilakukan oleh PT Paradigma Putra Sejahtera, bekerjasama dengan Cosmix Underwater Research Ltd,yang telah memperoleh Izin Pengambilan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) dari Pemerintah Indonesia. Barang yang dilelang terdiri dari 271.381 buah yang meliputi 11.000 mutiara, 4.000 rubi, 400 safir merah, dan 2200 batu akik merah. Sisanya adalah vas besar dari dinasti Liao (907-1125M), keramik Yue dari lima dinasti (907-960M), Dinasti Liang(907-923), Tang (923-936), Han (947951), dan Zhou (951-960). UNESCO mempertanyakan rencana yang diduga melanggar Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, tetapi dijawab oleh Pemerintah bahwa Indonesia belum menandatangani konvensi sehingga tidak harus mentaati konvensi tersebut. Beberapa kalangan menilai bahwa penjualan tersebut sangat menciderai sejarah bangsa Indonesia. Menurut mereka sejarah adalah bagian masa lalu yang akan menentukan masa depan seharusnya tidak digadaikan hanya untuk sejumlah uang tertentu. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Budaya dan Pariwisata mengatakan bahwa mereka telah menyimpan 991 buah artefak untuk dan memiliki kesulitan untuk menyediakan tempat dan biaya pemeliharaan barang tersebut, maka menurut pemerintah ada baiknya barang tersebut dilelang terbuka untuk umum bahkan untuk pasar internasional. Berikut ini adalah diskripsi umum tentang temuan BMKT di perairan Cirebon yang diberi sebutan “Five Dynasty Wreck” oleh investor yang melakukan pengangkatan (Agung, Adi dan Fred Dobberphul, 2005). 1. Titik koordinat berada + 90 NM dari Cirebon atau + 135 NM dari Jakarta 2. Kedalaman laut: 57 – 60 M 3. Mulai Operasi : April 2004 4. Periode BMKT: 906 M – 960 M 5. Jumlah Penyelam - Asing : 8 – 12 orang - Lokal : 30 orang 6. BMKT yang berhasil diangkat : 417.427 bh - Kondisi baik: 136.208 buah - Harus diperbaiki: 67.179 buah - Rusak: 214.304 buah 7. Jenis barang/motif yang didapat: ‐ + 525 jenis yang berbeda 8. Perkiraan selesai pengangkatan: Akhir September 2005 9. Penanganan BMKT di Gudang dari awal melibatkan ahli dari Budpar Hasil seminar tentang BMKT Cirebon ini yang dilakukan pada tahun 2005 telah mengungkap sebagian mengenai aspek‐aspek teknologi kapal dan lingkungan nusantara, perdagangan, jalur pelayaran, agama, dan gaya hidup. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan hingga saat itu, dapat disebut sejumlah temuan berikut: mangkuk, buli‐buli, piring, kendi, teko, pot, botol kaca, lampu, tungku, pasu, pipisan, mata uang, kaca, wajra, belanga, kalung, cincin, giwang, manik‐ manik, hulu senjata, gading, batangan logam, fragmen berhuruf arab, biji kemiri, biji pinang dll. Tentu saja baru sebagian kecil dari data tersebut dapat dikaji. Jenis‐jenis temuan angka ini masih membuka kesempatan bagi para peneliti untuk megkaji aspek‐aspek lain dari suatu kehidupan abad ke‐10 yang begitu bervariasi (Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala 2005). Pada 13 - 14 Februari 2012, BMKT Cirebon bagian Pemerintah sebanyak + 135,917 buah telah dipindahkan dari gudang swasta di Pamulang ke Warehouse Cileungsi. Pemindahan tersebut terlaksana dibawah pengawasan dari Tim yang anggotanya terdiri dari wakil Ditjen P2SDK, Direktorat Peninggalan Bawah Air-Kemendikbud, dan Direktorat Tindak Pidana Tertentu- Bareskrim. Setelah pemindahan BMKT Cirebon bagian Pemerintah dari gudang Pamulang ke Warehouse BMKT Cileungsi, Sekretariat PANNAS BMKT melakukan penataan secara berkala. Mulai Desember 2012 – Mei 2013 dilaksanakan re-inventarisasi, dokumentasi, labeling dan penyimpanan. BMKT Cirebon yang jumlahnya banyak disimpan di keranjang plastik yang diberi label (foto, jumlah, jenis dan kualitas), BMKT yang jumlahnya terbatas, seperti batu berharga dan koin disimpan di brankas atau disimpan secara terpisah dalam keranjang plastik. Berdasarkan letak geografis Indonesia,dua per tiga wilayah Indonesia berupa laut dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan terdiri dari sekitar 17.508 pulau. Kondisi wilayah ini mengandung sumber daya laut yang sangat besar, baik sumber daya yang tidak dapat pulih maupun yang dapat pulih. Sumber daya laut yang tidak dapat pulih antara lain adalah minyak, gas, mineral dan energi laut non-konvensional (Ocean Thermal Energy Convention/ OETC), serta harta karun yang saat ini sudah mulai digali walaupun masih sangat terbatas. Sumber daya laut yang dapat pulih adalah berupa ikan, yang potensi lestarinya diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, yang saat ini baru dimanfaatkan sekitar 65%. Garis pantai yang demikian panjangnya jelas mempunyai potensi yang sangat besar untuk budidaya laut dan budidaya air payau, yang saat ini masih terbatas pemanfaatannya
Dari tabel di atas tercatat, bahwa di perairan Indonesia banyak aktivitas pencarian harta karun dengan melakukan pengangkatan benda-benda berharga muatan kapal tenggelam, inipun baru disinyalir 1% dari 2.506 titik harta karun yang tersebar di lautan Indonesia. Jika kegiatan pengangkatan BMKT tidak diatur akan merugikan kepentingan kekayaan sumber daya laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, maka pemerintah segera melakukan pengaturan guna menjamin kesimbungan ketersediaan sumber daya laut dengan tetap meningkatkan kualitas nilaikeanekaragamannya, sebagai tujuan dari konservasi sumber daya laut. Dalam melakukan konservasi sumber daya laut, pemerintah mempunyai berbagai alternatif penentuan langkah yang dengan singkat dirumuskan oleh Dye “Public policy is whatever goverment choose to do or not to do”. Dalam merumuskan kebijaksanaan, Pemerintah menetapkan tujuan yang hendak dicapai.1 Berbagai sarana hukum administrasi tersedia bagi pemerintah untuk mencapai tujuan konservasi sumber dayalaut dapat diwujudkan dalam “feitelijke handelingen”, “rechtshadelingen” dan “indirecte beinvloeding”.2 Kebijakan pemerintah untuk mencapai konservasi sumber daya laut, khususnya dalam pengambilan benda berharga muatan kapal tenggelam berupa pengaturan peraturan perundang-undangan, perizinan, pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan”. Fungsi izin sebagai sarana pengendali kehidupan warganya haruslah senantiasa dipertimbangkan dengan seksama, meskipun kepentingan dunia usaha memegang peranan sangat penting. Salah satu fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengendalian adalah pemberian izin kepada masyarakat dan organisasi tertentu. Pada awalnya fungsi pemberian izin diimplementasikan oleh Departemen (tingkat pusat), namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian izin dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Keadaan ini membawa pada suatu realita bahwa di Indonesia banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturperizinan di bidang kelautan, disamping terdapat banyak kelemahan substansi, dan prosedur perolehan izin. Kebijakan perizinan ternyata tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen karena substansi yang tidak tepat dan tidak transparan, prosedur perizinan yang berbelit, ditambah adanya berbagai kewenangan yang menangani perizinan bidang kelautan di Indonesia merupakan problem tersendiri. Berdasarkan uraian fakta diatas, masalah yang akan dikaji dan sekaligus menjadi isu hukum dalam penulisan ini adalah: pertama, instrumen pengendalian usaha pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT) di Indonesia. Kedua, upaya perlindungan hukum terhadap Pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) yang menjadi aset peninggalan sejarah Indonesia Izin adalah suatu persetujuan dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan.Sesuai dengan pengertian izin tersebut, maka izin Pengambilan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) merupakan persetujuan dari pemerintah terhadap norma larangan pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam, oleh karena itu izin BMKT harus ditetapkan dalam bentukkeputusan (KTUN) bukan peraturan karena izin berisi suatu norma penetapan bukan norma pengaturan (perilaku). Salah satu ciri dalam Negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain setiap tindakan hukum pemerintah, baik yang menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan ciri tersebut, maka izin BMKT harus didasarkan pada wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Izin merupakan salah satu tindakan pemerintahan yang menjadi sarana pengendalian terhadap tingkah laku warga, oleh karena itu sebagai tindakan pemerintahan izin harus memenuhi asas keabsahan. Unsur Keabsahan tindakan pemerintah meliputi : Wewenang Wewenang merupakan legalitas formal dalam tindakan pemerintahan. Ruang lingkup penggunaan wewenang itu memiliki 3 (tiga) elemen, yaitu :4 1. Mengatur Kewenangan mengatur berkaitan dengan tugas pemerintah dalam menjalankan fungsi mengatur, sesuai dengan fungsi tersebut kewenangan pemerintah mengeluarkan izin Pengambilan Benda Muatan Kapal Tenggelan digunakan untuk mengatur tingkah laku warga atau badan hukumdalam pengambilan muatan kapal tenggelam agar tidak memberikan gangguan terhadap ekosistem laut dan tetap memperhatikan kekhasan dan kelangkaan dari benda-benda yang diambil dari kapal tenggelam. 2. Mengontrol Kewenangan mengontrol dimaksudkan agar pemegang izin yang akan melakukan pengambilan muatan kapal tenggelam tetap memperhatikan ekosistem laut dan kekhasan atau kelangkaan benda-benda tersebut, sehingga tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan atau perintah yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan peraturan hukum yang ada. Dengan demikian dalam menetapkan izin BMKT sebagai sarana yang digunakan untuk mengendalikan aktifitas masyarakat tidak hanya berhenti dalam menetapkan izin saja, tetapi pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan kewenangan mengontrol agar izin dalam dilaksanakan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut. 3. Memberikan sanksi/penegakan hukum Kewenangan untuk memberikan sanksi sangat dominan dalam bidang hukum administrasi oleh karena itu tidak ada menfaatnya bagi pejabat pemerintah. Kewenangan membuat keputusan (izin BMKT) hanya dapat diperoleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi dan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, pemberian Izin BMKT dibagi menjadi 3 instansi, yaitu: 1) Kewenangan Departemen Kelautan dan Perikanan bagi BMKT yang terletak antara 12 mil sampai landas kontinen; 2) Kewenangan Pemerintah Provinsi bagi BMKT yang terletak antara 4 – 12 mil 3) Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota bagi BMKT yang terletak kurang dari 4 mil. Semakin meningkatnya teknologi dan kemampuan menyelam, bertambahnya pasar seni dan kolektor yang bekerjasama dengan pemburu-pemburu harta karun, tentunya memiliki konsekuensi tersendiri terhadap upaya kelestarian warisan budaya bangsa. Kasus pencurian dan penjarahan BMKT sudah barang tentu mengabaikan prinsip-prinsip arkeologi dan kelestarian warisan budaya. Hal ini sangat di tentang dan mesti dihindari. Dalam Konvensi Internasional Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air (The Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage) UNESCO 2001, yang sampai saat ini belum dirativikasi oleh Indonesia, juga ditegaskan bahwa pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya untuk kepentingan umat manusia; melindungi warisan budaya bawah air dari eksploitasi secara komersial untuk semata-mata kepentingan perdagangan, walau tidak menafikan kebutuhan operasional akibat aktivitas yang ditimbulkan; serta memprioritaskan pelestarian warisan budaya bawah air secara insitu. Dari catatan dan uraian di atas ada beberapa kecenderungan dan permasalahan yang patut dikritisi lebih lanjut yaitu:  Motif ekonomi masih mendominasi dalam setiap proses pengangkatan BMKT dan mengabaikan prinsip utama pengangkatan yaitu sebagai upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya yang ada di bawah permukaan air. Kebutuhan operasional yang dikeluarkan mulai dari kegiatan survei, pengangkatan, sampai pada penjualan BMKT yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit tentu bisa dipertimbangkan, tanpa harus mengabaikan kegiatan penelitian dan pendokumentasian yang baik terhadap setiap proses-proses yang dilalui.  Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting pelestarian warisan budaya bangsa sebagai upaya memupuk rasa kebanggaan nasional, memperkokoh kesadaran jati diri bangsa, maupun dimanfaatkan untuk kepentingan nasional meliputi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. (bagian penjelasan pada point menimbang dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang BCB).  Tindakan-tindakan penyelaman yang dilakukan masyarakat tradisional ataupun nelayan untuk mencari harta karun, belum dilihat pemerintah sebagai sebuah peluang untuk mengelola BMKT dengan melibatkan seluruh stakeholder, termasuk masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah yang ada saat ini, dimana masyarakat bukanlah objek dari pembangunan, tetapi merupakan subjek. Untuk itu partisipasi masyarakat menjadi penting untuk proses pendidikan dan penyadaran akan kelestarian warisan budaya bangsa ke depannya.  Moral, etika, dan rasa nasionalisme pejabat dan pengusaha yang rendah, dan lebih mengedepankan keuntungan financial bagi individu atau kelompoknya dengan segala cara, dan belum diorientasikan untuk kepentingan negara. Dapat dilihat melalui kasus di atas yang selalu mempekerjakan mafia Michael Hatcher dalam kegiatan penjarahan BMKT yang ada di tanah air, mafia yang menjarah kekayaan BMKT yang tidak pernah diadili tetapi justru mendapat tempat terhormat sebagai konsultan bahkan kepala tim survei. Adanya pensiunan militer dibelakangnya yang masih mempunyai koneksi kuat ke birokrasi dan militer, adalah sebagai upaya menakut-nakuti. Dalam bisnis-bisnis lain, hal ini juga masih sering terjadi. Yang kemudian menjadi korban adalah Bapak Syafri Burhanudin yang tidak mengijinkan pengangkatan karena melibatkan mafia dan juga kelengkapan administrasi yang fiktif.  Kontroversi menyangkut proses pemberian Ijin legalitas pengangkatan BMKT; menurut KEPPRES no. 107 Tahun 2000 pasal 3 ayat d dikatakan bahwa: ”Panitia Nasional mempunyai tugas: memberikan rekomendasi mengenai ijin pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga kepada pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Adanya kesalahan berpikir dalam menerjemahkan UU No. 5 tahun 92. Artinya Keputusan Presiden di atas memberikan pemahaman bahwa ijin diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yaitu sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992.  Tertutupnya proses pengangkatan dan pelelangan terhadap BMKT, serta tidak melibatkan partisipasi publik, hal ini berpotensi dana diselewengkan.  Adanya tarik-menarik kepentingan antara pengusaha, pemda, dengan pemerintah terkait pembagian dalam kegiatan pengangkatan dan pemanfaatan BMKT. Pengusaha tentu memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil penjualan BMKT. Sementara pihak pemerintah, khususnya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata juga mempunyai kepentingan bagaimana bisa menyelamatkan benda BMKT bernilai sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya yang tinggi. Dan Pemerintah Daerah yang dikuatkan dengan adanya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah juga menuntut, bahwa setiap hasil pengangkatan yang berasal dari zona wilayahnya (seperti kasus di Cirebon 2004 - 2005) haruslah dibagi ke Pemda setempat. Dan yang perlu diperhatikan adalah, keterlibatan masyarakat dalam proses survei, pengangkatan, maupn pemanfaatan BMKT. Perdebatan bisa saja terjadi antara pengusaha dan pihak pemerintah, dimana Setiap benda yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi tentu akan dihargai sangat Mahal. Harga mahal inilah yang diharapkan oleh pengusaha, tetapi di sisi lain justru nilai sejarah tinggi, tidak boleh dijual (Hal. 15 Laporan Tahunan 2008 Pannas BMKT).  Dari beberapa literatur yang ada, masih terdapat perbedaan pendataan jumlah kapal yang tenggelam. Belum adanya pendataan yang intens terhadap BMKT yang ada di perairan Indonesia menunjukkan belum terintegrasinya pengelolaan BMKT di negeri ini. Dalam UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, sebenarnya tidak cukup diatur secara tegas tentang pengertian benda cagar budaya terutama yang berada di bawah permukaan air. Namun demikian pada pasal 12 ayat 1 dikatakan bahwa “Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyclaman, pengangkatan atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa izin dari Pemerintah”. Kata penyelaman-lah yang kemudian dipakai untuk menunjukkan bahwa BMKT merupakan Benda Cagar Budaya yang ada di bawah permukaan air. Istilah Benda Cagar Budaya yang merupakan BMKT baru secara jelas disampaikan dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang BCB, pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya adalah benda bukan kekayaan alam yang mempunyai nilai ekonomi/intrinsik tinggi yang tersembunyi atau terpendam di bawah permukaan tanah dan di bawah perairan di wilayah Republik Indonesia”. Namun demikian, kehadiran Pannas BMKT pertama kali yaitu tahun 1989, masih merujuk pada Monumenten Ordonnantie, Staatsblad No. 238 Tahun 1931. Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dan PP No.10 tahun 199 baru digunakan sebagai rujukan hukum di saat KEPPRES No 43 Tahun 1989 diubah menjadi KEPPRES No. 39 Tahun 2000, berlanjut ke KEPPRES No. 19 tahun 2007, dan kemudian terakhir masih disempurnakan lagi menjadi KEPPRES No. 12 tahun 2009 tentang Perubahan Atas KEPPRES No. 19 Tahun 2007 tentang PANNAS BMKT. Total sudah 4 kali terjadi perubahan Keppres Pannas BMKT. Terkait polemik tentang dasar hukum siapa yang berhak memberikan ijin pengangkatan BCB dalam hal ini BMKT, sebenarnya sudah jelas diatur dalam UU No.5 tahun 1992 pasal 12 yang disebutkan di atas, dan dipertegas melalui PP No. 10 tahun 1993 Pasal 17 ayat (1) Tanpa izin Menteri setiap orang dilarang melakukan kegiatan pencarian benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya baik di darat maupun di air. ayat (2) Pencarian sebagaimana dimaksud dalam ayat () meliputi penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya. Point rekomendatif:  Perlu segera dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada termasuk UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maupun peraturan-peraturan dibawahnya yang berhubungan dengan kelangsungan pengelolaan BMKT.  Persoalan BMKT, merupakan persoalan yang sangat kompleks, dan membutuhkan penanganan secara khusus. Aktivitas terhadap kegiatan ini skalanya besar, yaitu meliputi proses penelitian, survei, pengangkatan, sampai pada lelang. Untuk itu, Pemerintah RI perlu membentuk lembaga yang legitimate dan mandiri yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan operasionalnya dibebankan melalui APBN. Lembaga yang terbentuk, tetap melakukan koordinasi dengan pejabat-pejabat terkait.  Perlunya dibentuk unit dibawah Direktorat Bawah Air Budpar RI yang sampai saat ini tidak mempunyai struktur pelaksana di bawahnya. Padahal wilayah yang akan dikelola yaitu 2/3 seluruh tanah air Indonesia. Berbeda dengan Di wilayah darat yang hanya 1/3-nya yang saat ini banyak unit pelaksana di daerah-daerah.  Menyampaikan proses lelang kepada publik  Perlu dibuat peraturan teknis tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan warisan budaya termasuk pengangkatan BMKT. Strategi pengelolaannya juga harus dibedakan antara daerah sungai dengan laut. Sungai lebih cenderung keruh, sehingga sulit untuk di lihat. Arkeologi merupakan ilmu yang interdisipliner dan harus segera mentransformasikan ilmu ini ke masyarakat, tidak di handle sendiri. Karena bidang kerja yang mau dikerjakan sangat luas termasuk dalam hal Arkeologi bawah air yang melibatkan masyarakatnya.  Perlunya upaya memaksimalkan pengamanan wilayah laut.  Perlu adanya sanksi bagi perusahaan2 yang tidak berkomitment terhadap pemeliharaan warisan budaya dengan mengedepankan kepentingan ekonomi. Hal ini penting mengingat, dari beberapa kapal  Perlu adanya pusat informasi data sebagai bagian dari pengelolaan BMKT yang terintegrasi. PENUTUP Perlu adanya upaya-upaya berbenah diri dari Pannas BMKT dengan memperhatikan permasalahan ataupun masukan yang ada. Sehingga ke depan Pannas BMKT benar-benar menjadi solusi dalam mengelola warisan budaya di bawah permukaan air. Upaya perlindungan dan pelestarian terhadap warisan budaya bangsa adalah salah satu gerakan melawan “lupa” dan membangun sikap kritis bangsa ini. Kasus klaim terhadap warisan budaya yang dimiliki bangsa ini oleh bangsa asing, dan juga kasus penghancuran, pencurian, dan jual-beli terhadap warisan budaya bangsa yang dilakukan oleh bangsa sendiri, baik yang ada di daratan maupun yang ada di bawah permukaan air menunjukkan bahwa bangsa kita lebih suka melupakan nilai-nilai ataupun makna dari kebesaran. DAFTAR PUSTAKA Agus Supangat, 2006, Berburu Harta Karun di Laut, Majalah Inovasi Vol. 6/XVIII/Maret 2006. Akesson Per, 1996, What is UnderwaterArchaeology ?, Translation, adaptation and layout. Stockholm : Nordic Underwater Archaeology Bambang Budi Utomo (ed), 2007, Kapal Karam Abad ke‐10 di Laut Jawa Utara Cirebon, Jakarta: Pannas‐BMKT (Belum diterbitkan). Djoko Pramono,2005, Budaya Bahari. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Grenier, R. , David Nutley and Ian Cochran (ed), 2006, Underwater Cultural Heritage at Risk: Managing Natural and Human Impacts. Heritage at Risk Special Edition, Paris: ICOMOS Koos Siti Rochmani, 2001. “The Protection of Underwater Cultural Heritage in Indonesia” dalam Report Indonesia – Italian Workshop on Preservation of Cultural Heritage. Nunus Supardi, 2008, Evaluasi Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Bawah Air, power point pada diskusi pemanfaatan PBA, Tegal: Dit. PBA. Wolters, O.W, 1974, Early Indonesian Commerce: A Study of the origins of Sriwijaya. Ithaca N.Y: Cornell University Press. Undang‐Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Charter on the Protection an Management of Underwater Cultural Heritage (1996) UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage (2001)

PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG LAMUN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR

PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG LAMUN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR Tugas Paper Mata Kuliah Biodiversitas Laut Dosen: Dra Titi Soedjiarti, SU Eko Prasetyo Budi NPM : 1506693512 PROGRAM STUDI SAINS HAYATI KELAUTAN MAGISTER ILMU KELAUTAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2015 A. PENDAHULUAN Daerah perairan pantai adalah wilayah perairan yang berada antaraujung paparan benua dengan kedalaman laut sekitar 200 m sampai pantaiyang didalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, estuari,padang lamun, sumberdaya hayati dan nonhayati, serta fasilitas-fasilitas sepertipelabuhan dan pemukiman dan panorama pesisir. Sering dapat dilihat hamparan hijau pada dasar laut di pinggir pantai yang menyerupai padang rumput hijau, yang tidak lain adalahpadang-lamun atau yang populer dikenal denganseagrass. Seagrass adalah tempat hidup bagi banyak organisme, seperti ikan, kepiting, udang,lobster, seaurchin (bulu babi), dan lainnya.Sebagian besar organismapantai (ikan, udang, kepiting dll) mempunyai hubungan ekologis denganhabitat lamun. Sebagai habitat yang ditumbuhi berbagai spesies lamun,padang lamun memberikan tempat yang sangat strategis bagi perlindunganikan-ikan kecil dari "pengejaran" beberapa predator, juga tempat hidup dan mencari makan bagi beberapa jenis udang dan kepiting. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004). Lamun merupakan satu satunya tumbuhan angiospermae atau tumbuhan berbunga yang memiliki daun, batang, dan akar sejati yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam air laut (Tuwo, 2011). Pola hidup lamun sering berupa hamparan, maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun (Den Hartog, 1970 dalam Hendra, 2011). Tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup dilingkungan laut, yaitu : 1) mampu hidup di media air asin; 2) mampu berfungsi normal dalam kondisi terbenam; 3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik; 4) mampu melakukan penyerbukan dan daun generafit dalam keadaan terbenam (Den Hartog, 1970 dalam Kordi, 2011). BAB II PEMBAHASAN Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun yang saling berkaitan dari setiap ekosistem ( Gambar 1 ). Gambar 1. Interaksi Antara Tiga Ekosistem Laut Dangkal (UNESCO, 1983 dalam Hutomo 1997) Beberapa contoh interaksi antara tiga ekosistem yaitu, hutan mangrove sejati biasanya tumbuh di daerah yang terlindung dari pengaruh ombak dan arus yang kuat. Terumbu karang dan lamun disini berfungsi sebagai penahan ombak dan arus yang kuat untuk memperlambat pergerakannya. Ini merupakan salah satu interaksi fisik dari terumbu karang dan lamun terhadap mangrove sehingga mangrove terlindungi dari ombak dan arus yang kuat. Hutan mangrove kaya akan sedimen yang mengendap di dasar perairan. Apabila sedimen ini masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang dengan jumlah yang sangat banyak dan terus menerus oleh pengaruh hujan lebat, penebangan hutan mangrove maupun pasang surut dapat mengeruhkan perairan, maka ini akan mempengaruhi fotosintesis dari lamun dan zooxanthela yang hidup pada karang. Sedimen yang membuat perairan keruh akan berdampak pada berkurangnya penetrasi cahaya matahari (kecerahan). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang. Dan ini akan mempengaruhi persebaran dan kelimpahan lamun serta terumbu karang secara vertikal dan horizontal. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem organisasi ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir atau laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air surut. Tempat tumbuhnya adalah dasar pasir, pasir berlumpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup pada dasar batu karang. Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang. Lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti halnya tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga perbedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi (Tengke, 2010). Secara morfologi jenis lamun Enhalus acoroides (Gambar 1) akan tumbuhan tropis yang mempunyai akar kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang kaku. Rhizomanya tertanam di dalam substrat. Pada akarnya terdapat rambut bisus. Daun-daunnya sebanyak 2 atau 4 helai yang ujungnya membulat. Panjang daun lebih dari 1 m dan lebar 1,5 cm. Buah berbentuk bulat telur berukuran 4-7 cm. Lamun tropis tumbuh di perairan dangkal dengan substrat pasir berlumpur. Lamun ini tumbuh subur di daerah yang terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas atas mintakat bawah litoral.
Gambar 1. Enhalus acoroides Spesies Halophila ovalis (Gambar 2) atau lamun sendok (spoon grass) adalah lamun yang mempunyai tangkai ramping, berdiameter 1 mm, hampir tidak berwarna dan merayap. Sepanjang tangkai yang merayap muncul daun-daun berpasangan ke atas di bawah permukaan air dan akar-akarnya kecil ramping ke bawah, ke dalam tanah. Daun-daun bundar telur (oval) tipis berwarna hijau dengan warna kemeah-merahan berukuran panjang 10-15 mm dan lebar 5-10 mm. Masing-masing daun ditunjang oleh tangkai (petiole) berukuran panjang 8-15 mm dan diameter 0,5 mm. Di daerah yang terlindung, lamun sendok membentuk permadani tumbuh-tumbuhan di antar air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah dan air surut rata-rata pada pasang surut purnama, memberikan lingkungan yang cocok untuk pelekatan alga. Di lingkungan ini lamun sendok membentuk tajuk (canopy). Lamun sendok mempunyai bunga berkelamin tunggal dan soliter. Lamun sendok terdapat di pantai pasir, di paparan terumbu dan di dasar pasir lumpur dari pasang surut rata-rata sampai batas bawah dari daerah pasang surut (Romimohtarto dan Juwana, 2001 dalam Kordi, 2011).
Gambar 2. Halophila ovalis Susetiono (2007) menyatakan bahwa habitat lamun jenis Halophila minor (Gambar 3) serta helaian daunnya sangat mirip dengan Halophila ovalis tetapi lebih kecil (0,7-1,4 cm) dan jumlah urut daun juga lebih sedikit (3-8 pasang), rimpang tipis dan mudah patah, mampu hidup diperairan yang berlumpur.
Gambar 3. Halophila minor Spesies Cymodoceae rotundata (Gambar 4) atau dikenal sebagai lamun ujung bulat (round tipped seagrass) tumbuh di substrat pasir, kadang pecahan karang dan sedikit berlumpur. Lamun ini mempunyai daun berukuran panjang 7-20 cm dan lebar 2-4 mm, mempunyai 7-15 tulang daun dan 2-7 helai daun perpangkal. Ujung daun halus membulat dan tumpul (Kordi, 2011).
Gambar 4. Cymodoceae rotundata Sama halnya dengan Cymodocea rotundata, bentuk daunnya melengkung menyerupai selempang bagian pangkal menyempit dan ke arah ujung agak melebar. Panjang dan lebarnya juga hampir sama berkisar 5-15 m dan 2-4 mm. Yang membedakannya dengan ujung daun dari Cymodocea serrulata (Gambar 5) adalah ujung daunnya bergerigi dengan tulang daun berjumlah 13-17.
Gambar 5. Cymodocea serrulata Susetiono, (2007) menyatakan bahwa lamun jenis Thalassia henprichii (Gambar 6) mempunyai rimpang agak membulat, daun tebal dan agak melengkung. Bunga jantan mempunyai tangkai pendukung pendek saja,yaitu sekitar 3 cm (atas inzet). Sedangkan bunga betina tangkai pendukungnya lebih pendek, yaitu berkisar antara 1-1,5 cm dan buahnya terbagi dalam 8-20 keping yang tidak beraturan. Umumnya hidup berdampingan dengan jenis lainnya seperti Enhalus acoroides. Bila mendominasi selalu membentuk kelompok vegetasi yang rapat (bawah). Spesies Thalassia henprichii tumbuh di substrat berpasir hingga pada pecahan karang mati dan sering menjadi spesies dominan pada padang lamun campuran dan melimpah (Kordi, 2011).
Gambar 6. Thalassia hemprichii H. uninervis (Gambar 7) adalah lamun sublittoral ditemukan dari pertengahan pasang surut hingga kedalaman 20 m. Umumnya pada kedalaman antara 0-3 m di laguna sublittoral dan di dekat terumbu karang. H. uninervis dapat tumbuh di berbagai habitat yang berbeda. Lamun ini dapat membentuk padang rumput padat bercampur dengan spesies lamun lain (Carruthers et al, 2007 dalam Hendra, 2011). Jenis ini termasuk dalam famili Potamogetonaceae. Ciri khas dari famili ini memiliki bentuk daun Parvozosterids, dengan daun memanjang dan sempit. Ujung daunnya yang berbentuk trisula dengan satu vena sentral yang membujur dengan ukuran lebar daun 1-1,7 mm. Umur daun ±55 hari dengan produksi tegakan sebanyak 38 tegakan/tahun (Vermaat et al, 1995).
Gambar 7. Halodule uninervis Syringodium isoetifolium (Gambar 8) termasuk dalam Family Potamogetonaceae dengan ciri-ciri utama yaitu tidak memiliki ligula seperti pada Family Hydrocaritaceae. Ditemukan di seluruh wilayah Indo-Barat Pasifik Tropis. Tumbuh dengan kepadatan tinggi tanpa spesies lain. Namun bila tumbuh dengan spesies lain ukurannya akan lebih kecil. Jenis lamun ini jarang ditemukan di daerah intertidal dangkal (McKenzie, 2007 dalam Hendra, 2011).
Gambar 8. Syringodium isoetifolium Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m, dan sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah ugahari (Barber, 1985 dalam Tangke, 2010). Habitat lamun dapat dilihat sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dilihat sebagai suatu ekosistem, dalam hal ini hubungan hewan dan tumbuhan tadi dilihat sebagai suatu proses yang dikendalikan oleh pengaruh-pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, fisika, kimiawi. Ekosistem padang lamun pada daerah tropik dapat menempati berbagai habitat, dalam hal ini status nutrien yang diperlukan sangat berpengaruh. Lamun dapat hidup mulai dari rendah nutrien dan melimpah pada habitat yang tinggi nutrien. Tangke (2010) menyatakan bahwa lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun (Thalassia) adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Dinyatakan pula bahwa Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit berlumpur dan kadang-kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Lamun menunjukkan adanya bentuk keseragaman yang tinggi pada reproduksi vegetatifnya. Hampir semua marga lamun memperlihatkan perkembangan yang baik dari rimpang (rhizome) dan bentuk daun yang pipih dan memanjang, kecuali pada marga Halophila. Jadi umumnya lamun akan menjadi kelompok homogen dengan tipe pertumbuhan "enhalid" (Azkab, 2000). Menurut Den Hartog (1967) dalam Hendra (2011), karakteristik pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu; 1. Parvozosterids, dengan daun memanjang dan sempit: Halodule, Zostera sub-marga Zosterella. 2. Magnozosterids, dengan daun memanjang dan agak lebar: Zostera sub-marga Zostera, Cymodocea dan Thalassia. 3. Syringodiids, dengan daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing: Syringodium 4. Enhalids, dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat pinggang yang kasar Enhalus, Posidonia, Phyllospadix. 5. Halophilids; dengan daun bulat telur, elips, berbentuk tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara: Halophila 6. Amphibolids, daun tumbuh teratur pada kiri dan kanan: Amphibolis, Thalassodendron, dan Heterozostera. Pada ekosistem padang lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Menurut (Azkab 1999) pada ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Disamping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan penguraian organisme yang telah mati di laut dangkal (Bengen 2001), seperti : a. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem terumbu karang b. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes) c. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi. d. Sebagai pendaur zat hara: Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit. Sedangkan menurut (Philips dan Menez 1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi sebagai a. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui Tekanan - tekanan dari arus dan gelombang. b. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. c. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun d. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. e. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu : a. Produsen detritus dan zat hara. b. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem c. Perakaran yang padat dan saling menyilang. d. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. e. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari Selanjutnya dikatakan (Philips dan Menez 1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan sebagai : 1. Untuk kompos dan pupuk 2. Dianyam menjadi keranjang 3. Mengisi kasur 4. Bahan makanan Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan sebagai untuk: 1. Penyaring limbah 2. Stabilizator pantai 3. Bahan untuk pabrik kertas 4. Bahan makanan 5. Obat-obatan dan sumber bahan kimia Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 55 spesies lamun. Di Indonesia ditemukan 12 spesies lamun yg termasuk ke dalam 2 famili (suku), yaitu : (1) Hydrocharitaceae dan (2) Potamogetonaceae. . Jenis lamun yang ada di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 1. Jenis-jenis lamun yang terdapat di Indonesia
Menurut para ahli ada beberapa karakteristik padang lamun di antaranya : 1. Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. 2. Mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di lingkungan laut: (1) mampu hidup di media air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, dan (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam 3. Memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas. 4. Tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan karang mati, dengan kedalaman sampai 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan sampai kedalaman 8 – 15 dan 40 meter (dasar laut yg masih dpt dijangkau oleh cahaya matahari yg memadai bagi pertumbuhannya). 5. Membentuk vegetasi tunggal dan vege-tasi campuran. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalasia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata dan Thalassodendron ciliatum. 6. Lamun bervegetasi tunggal ditemukan pada substrat lumpur dekat mangrove ke arah laut, sementara yang bervegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal 7. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang terlindung dan bersubstrat pasir, stabil serta dekat sedimen yang bergerak horizontal. 8. Pertumbuhan lamun diduga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor-faktor eksternal seperti zat-zat hara (nutrient) dan tingkat kesuburan perairan. 9. Terdiri atas 12 genera; 7 diantaranya adalah tropics (Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia dan Halophila) dan 5 terdapat di perairan temperate (Zostera, Phyllospadix, Heterozostera, Posidonia dan Amphibolis). Pada ekosistem padang lamun hidup beranekaragam biota laut, seperti : Ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp. Linckia sp.), dan cacing laut (Polikaeta). Berdasarkan nilai produktivitas padang lamun, asosiasi organisme, uraian tentang biota dan sumberdaya hayati laut dan tujuannya menem pati atau mengunjungi padang lamun, maka dapat disimpulkan bahwa pada ekosistem padang lamun terdapat tiga tipe rantai makanan, yaitu : 1. Rantai Makanan Detritus (Detritus Food Chain), karena sebagian besar biota yang hidup pada ekosistem padang lamun menanfaatkan serasah lamun sebagai makanan (sumber energi). 2. Rantai Makanan Merumput (Grazing Food Chain), karena sejumlah fauna laut termasuk reptilia dan mamalia laut menggunakan padang lamun sebagai padang penggembalaan. 3. Rantai makanan plankton (Plankton Food Chain). Ketiga rantai makanan tersebut membentuk jala makanan pada ekosistem padang lama
Gambar 3.Beberapa biota yg mengkolonisasi padang lamun (Bengen, 2002) Pada dasarnya ekosistem lamun memiliki fungsi yang hampir sama dengan ekosistem lain di perairan seperti ekosistem terumbu karang ataupun ekosistem mangrove, seperti sebagai habitat bagi beberapa organism laut, juga tempat perlindungan dan persembunyian dari predator. Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 1. Sebagai Produsen Primer Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975). 2. Sebagai Habitat Biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrassbeds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres, 1977). 3. Sebagai Peredam Arus dan Penangkap Sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi (Gingsburg & Lowestan 1958). 4. Sebagai Pendaur Zat Hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut.Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit. Selain fungsi ekologis, dibutuhkan beberapa parameter lingkungan yang mempengaruhi kelestarian padang lamun yaitu : 1. Kecerahan 2. Temperatur 3. Salinitas 4. Substrat 5. Kecepatan arus 6. Sedimentasi (pencemaran) Tabel 2. Kegiatan di Padang Lamun dan Dampak Potensial yang Ditimbulkannya No. Kegiatan Dampak Potensial 1 Pengerukan dan pengurungan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, saluran navigasi. • Perusakan total padang lamun. • Perusakanhabitat di lokasi pembangunan hasil pengerukan. • Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, terlapisnya insang hewan air. 2 Pencemaran limbah industri, terutama logam berat, senyawa organoklorin • Terjadi akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification. 3 Pembuangan sampah organik • Penurunan kandungan oksigen terlarut. • Dapat terjadieutrofikasi yg mengakibatkan blooming (peledakan) perifiton yg menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yg dpt menghalangi CM 4 Pencemaran oleh limbah pertanian • Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun. • Pencemaran pupuk mengakibatkan eutrofi kasi di perairan padang lamun & sekitarnya. 5 Pencemaran minyak • Lapisan minyak pd daun lamun dapat mengha langi proses fotosintesa. • Mematikan tumbuhan lamun 6 Pemanfaatan SD padang lamun • Perubahan struktur vegetasi padang lamun. • Perubahan substrat dasar padang lamun yg dpt mengganggu pertumbuhan lamun. • Menurunnya fungsi padang lamun sebagai habitat utama berbagai biota laut. Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001). Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakarakat (Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut. a. Pengelolaan Berwawasan Lingkungan Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh.Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan. b. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimanan pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003). Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan.Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya.Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan.Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan. Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994).Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut.Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut. Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: (1) konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat. Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) ampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan. Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya. Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran). Perumusan kebijaksanaan pengelolaan ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders (pemakai). PENUTUP Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguaun utama dari aktivitas manusia maka untuk merehabilitasinya dapat dilakukan melalui dua pendekatan: yakni ; 1) Rehabiltasi lunak (soft Rehabilitation), dan 2) rehabilitasi keras (Hard Rehabilitation) a) Rehabilitasi lunak Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.Rehabilitasi lunak mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Kebijakan dan strategi pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan kebijakan dan strategi yan jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para pemangku kepentingan ( stake holdes). 2) Penyadaran masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapa dilaksanakan dengan berbagai pendekatan. 3) Pendidikan. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalan pendidikan formal dan non-formal. 4) Pengembangan riset.Riset diperlukan untukmendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan Keputusan dalam pengelolaan lingkungan. 5) Mata pencaharian yang alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk mengembangkan mata pencarian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera akan lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan. 6) Pengikut sertaan masyarakat. Pertisipasi masyrakat dalam berbagai kegiatan lingkungan apat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutanya.Kegiaan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini. 7) Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary)berbasis masyarakat. Daerah perlidungan padang lamun merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. 8) Peraturan perundangan.Pengembangan peraturan perundangan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan masyarakat luas.Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai dan dikembangkan. 9) Penegakan huku secara konsisten. Segala peraturan perundangan tidak akan ada dimankan bila tidak ada ditegakan secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat. b) Rehabilitasi Keras Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan dilapangan.Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun dilingkungan yang perlu direhabilitasi.Kegiatan transplantasi lamun di Indonesia belum berkembang luas.Berbagai percobaan transplantasi lamun telah dilaksanakanoleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPIyang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan diluar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan, (Himnasurai Untama, 2012) DAFTAR PUSTAKA Arifbayuadi, 2010. Pengelolaan Ekosistem Lamun. Word Press.com Dahuri, dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta Himnasurai Untama, 2012. Pengelolaan Padang Lamun. Blog Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himnasurai), Universitas Antakusuma Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah